Social Icons

9 Aug 2015

Pengamen dan Penjaja Makanan

Pagi itu saya dan dua orang teman melakukan perjalanan menuju ke arah Jepara. Karena dalam rangka pekerjaan, kami mendapat fasilitas mobil kantor. Ketika hampir sampai di lingkar jalur Demak, mobil terhenti di salah satu ruas jalan karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Lampu merah memang mengharuskan para pengendara kendaraan berhenti. Akan tetapi, itu juga penanda untuk beberapa orang memulai aktivitas mereka, seperti: penjaja makanan, penjaja koran, pengamen, hingga pengemis.

Salah satu penjaja makanan mendekati mobil kami. Dan menawarkan barang dagangannya kepada teman yang duduk di depan. Teman saya mengibaskan tangannya sebagai tanda dia tidak mau membeli. Jajanan itu berupa kacang kedelai rebus seharga seribu rupiah. Kemudian gantian seorang pengamen yang mendekati mobil. Teman saya langsung buru-buru mengambil receh dan memberikan kepada pengamen tadi. Padahal si pengamen baru menyanyikan tiga kata yang tak bernada. Hehehe!

Melihat kejadian itu, saya pun berseru, "Besok, kalau kita lewat lagi di sini, penjual makanan itu bakalan alih profesi jadi pengamen".

"Loh, kok bisa?" tanya temanku.

"Bisa dong. Penjaja makanan itu bekerja dengan menjajakan makanan seharga seribu rupiah. Dan kamu menolaknya. Sedangkan pengamen itu, baru juga mangap, sudah kamu beri seribu." Saya menjawab kalem.

Teman saya terdiam kemudian berkata, "Iya juga ya".

Pernah mengalami hal yang serupa, teman? Ketika kita lebih menghargai pengamen daripada penjual asongan di lampu merah. Bisa beragam alasannya mengapa kita melakukan hal itu. Bisa dikarenakan bising dengan suara si pengamen atau penjual asongan lebih cepat diusir dengan lambaian tangan daripada pengamen.

Kedua profesi tersebut memang mengganggu bagi pengendara di jalan raya. Apalagi saya pernah mendengar kalau tidak diberi uang, mereka mungkin saja menggores mobil yang dipakai oleh pengendara. Wiiih…kan serem. Mungkin ketimbang menghadapi resiko nge-cat mobil yang menghabiskan uang jutaan rupiah lebih baik diberi aja seribu rupiah.

Pernahkah teman berpikir bahwa hal itu bisa memicu lebih banyak pengamen yang muncul? Bukan berarti saya memandang rendah ‘profesi’ pengamen, tetapi kebanyakan dari mereka memiliki tubuh yang sehat dan kuat. Mengapa mereka malah lebih suka mengamen dan tidak bekerja yang lain? Dan jawaban yang terlintas di pikiran saya, karena mengemen itu enak, cuma menyanyi satu bait saja sudah dapat uang, bandingkan dengan pekerjaan lain yang harus bekerja beberapa hari baru bisa mendapatkan uang.

Dan jujur, saya gak ikhlas banget mengeluarkan uang untuk mereka. Lebih baik saya membeli permen seharga seribu rupiah, paling tidak penjaja makanan ini bekerja kan?

4 comments:

  1. Setuju bangetttt bangetttt mbak. aku juga ga ikhlas kalo kasih pengamen yang masih muda, badannya kekar gitu. Tapi ya kadang serem :(
    kalo pedagang asongan lebih 'nyata' usahanya.

    ReplyDelete
  2. Percaya nggak percaya ya mbak saya pernah lho diceramahin pengamen pas di pasar gara2 ya itu tadi aku nggak mau ngasih uang. Habisnya dia nggak nyanyi juga, cuma menengadahkan tangan sambil nyolek2. Saya sih cuek aja.

    ReplyDelete
  3. setuju banget mbak...
    saya lebih ngehargai para pejaja makanan kecil...penjaja koran yang rela panas2an ketimbang pengamen genjreng2 ngeganggu orang n bikin org ngedumel... :'(

    ReplyDelete

Terima kasih sudah meninggalkan komentar ^_^