Kejadian ini terjadi 2 minggu yang lalu.
Di hari Minggu itu ada pameran komputer di salah
satu Mall di kota kami. Dan rencananya kami akan mampir ke Mall tersebut untuk mencari
printer (sedang butuh printer baru ceritanya).
Setelah Solat Asar kita meluncur ke Mall itu, jalanan
padat oleh kendaraan, karena itu Mas Budhi mengendarai mobil dengan
pelan-pelan. Di depan kami berjejer beberapa sepeda motor, tiba-tiba salah satu
sepeda motor di sebelah kiri mobil berhenti. Mas Budhi pun segera menghentikan
mobil. Rem mobil tentu saja berbeda dengan rem sepeda motor kan? Jadi walau pun
mobil sudah di rem tapi tetap ada gerakan maju ke depan sedikit. Dan hal
tersebut yang membuat pengendara motor marah dan menggebrak bagian depan mobil
(mobil berjenis jip).
Saya sempet kaget dan takut, karena saya pikir mobil
mengenai kaki perempuan yang duduk di belakang pengendara, mana mereka bawa
anak kecil lagi. Mas Budhi pun berusaha menepi di jalan yang ramai itu.
Sebelumnya Mas meminta saya menurunkan kaca mobil supaya dia bisa bicara dengan
pengendara motor itu. Wah, si pengendara marah luar biasa. Mas sempat bicara
sebentar, kemudian mengatakan, “Sebentar Pak, saya parkir dulu, njenengan (anda) nunggu di situ”. Saya sempat melirik motornya, plat motornya
bengkok. Dan pengendara itu tampak seperti preman, dia memakai beberapa aksesoris
yang mengarah ke situ.
Karena sudah dekat Mall yang kami tuju, kami
bermaksud sekalian masuk ke area parkir. Tetapi sama bapak-bapak satpam (atau
tukang parkir ya?) yang bertugas kami tidak diijinkan masuk.
“Diselesaikan dulu
Pak”, katanya terhadap Mas Budhi.
“Iya Pak,
Saya mau parkir sekalian, masak saya parkir di tengah jalan”, Mas menjawab.
“Parkir di situ saja,” si Pak satpam menunjuk
pinggir jalan. Kemudian dia menutup area parkir. Jujur, saya tersinggung.
Setelah sampai di tepi jalan Mas berkata kepada saya,
“Kamu keluar dulu Nok , nunggu di
sana!”
Saya tahu maksudnya. Mas ingin menyelesaikan urusan
ini sendiri. Saya pun keluar mobil dan berdiri agak jauh, tetapi masih dalam
jarak dengar dari Mas dan pengendara itu.
Saya mendengar pengendara itu berteriak marah dan
mengumpat. Suara Mas pun terdengar keras. Saya sih tidak ragu kalau toh terjadi
perkelahian, pasti Mas yang menang. Hanya saja saya tidak suka melihat orang
bertengkar.
Sekitar 5 menit, sudah tidak terdengar suara keras
lagi, dan sesaat kemudian Mas Budhi melambaikan tangan ke arah saya. Wah
saatnya mbayar nih, pikir saya. Saya
pun mendekat. Dan yang mengagetkan, si pengendara yang tadi berteriak marah dan
berdandan sangar, tampak ‘jinak’. Bahkan dari sorot matanya, ada sorot rasa
takut, bahkan tidak berani mengangkat kepala.
“Monggo Pak,
njenengan ngersake pinten?” (=silakan Pak, Anda minta berapa) saya mendengar
suara Mas Budhi.
Si pengendara sambil menunduk berkata, “Saya takut
knalpotnya lepas ke depan. Ini knalpot
racing Pak. Masih baru lagi.” Memang motornya juga masih kempling (=baru). Dan sedikit banyak
saya paham kekecewaannya.
“Nggih, Saya tahu. Itu knalpot racing. Saya minta maaf. Kami tidak bermaksud apa-apa. Dan tidak
ada unsur kesengajaan”, lanjut Mas Budhi. Dan Mas pun menyebut sejumlah nominal
rupiah.
Setelah bicara sebentar, si pengendara menyebutkan ‘harga’
yang dia minta. Menurut saya, jumlahnya terlalu mahal untuk kerusakan yang
tidak terlihat. Tapi Mas menyentuh lengan saya, itu tanda isyarat, “Dikasih aja”.
Ya sudah, saya tidak mungkin menolak ‘perintah’ suami.
Ketika kami sudah naik ke mobil lagi, Mas bertanya, “Jadi
beli printer?”
“Gak usah, Mas. Udah gak mood,” ah bagaimana mungkin setelah kejadian itu saya masih nafsu
masuk Mall.
Kami terdiam sesaat. Kemudian saya mulai bertanya
hal-hal yang ingin saya ketahui. “Sebenarnya yang rusak apanya sih? Kok
sepertinya baik-baik saja. Cuma tadi memang plat motornya bengkok.”
“Knalpotnya retak sedikit, “ jawab Mas.
“Memang harga knalpot itu berapa Mas?” pertanyaan
berikutnya dari saya.
“Paling mahal sekitar 200 ribu rupiah,” jawab Mas
lagi. “Tidak mungkin dia beli baru, paling cuma diperbaiki saja dan kerusakan
seperti itu paling gak sampai 50 ribu untuk perbaikannya,” Mas menjelaskan.
“Hmmm...berarti dia memang niat mau nuthuk (=meminta lebih banyak) ya dengan
jumlah yang dia minta?” Saya langsung menyimpulkan.
“Masalah itu urusan dia. Kalau memang niatnya gak
baik, semua akan berbalik ke dia juga”. Mas menenangkanku.
Dan pertanyaan terakhir saya, “Tadi Mas apakan orang
itu? Kok langsung keder gitu. Padahal
tadi kan sangar banget.”
Mas tersenyum kemudian berkata, “Ah, model preman
mental cemen, tadi waktu saya turun
mobil, wajahnya ndangak (=pongah).
Baru dikasi suara keras sedikit udah
langsung mengkeret (=takut).”
“Saya gak mau ribut. Apalagi malu dilihat banyak
orang. Jadi, setelah nada suaranya agak turun, saya ajak rembugan baik-baik,” Mas menjelaskan.
“Dan itu membuat dia tambah menciut, karena saya
bicara dengan nada sopan,” jelas Mas lebih lanjut.
Oh iya ya tadi Mas bicara dengan bahasa jawa halus
(=krama).
“Maaf ya,” sambung
Mas, sambil mengelus kepalaku.
“Iya gak apa-apa,” Saya melihat ke arah Mas sambil
tersenyum.
Kata-kata itu memang jujur dari hati. Saya tidak
mempermasalahkan uang yang kami berikan ke si pengendara motor. Memang uang
tersebut berjumlah cukup banyak tetapi yang terpenting masalah terselesaikan
dengan baik-baik.
Satu kebanggaan terselip di hati saya, bukan hanya
suami saya bisa menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah lain, tetapi
dia bisa mengalah untuk menang.
Tulisan ini tidak untuk menceritakan ‘ke-hero-an’
suami saya loh.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah untuk
menjadi seorang ‘hero’, tidak harus dengan cara kontak fisik (baca: berkelahi)
atau bertengkar model debat kusir. Kita pun bisa menjadi pemenang dengan cara
mengalah. Bahasa kerennya, menang dengan perlawanan pasif.
Seorang ‘hero’ tidak harus yang menjadi pemenang
dalam perkelahian, juga bukan orang yang bisa mempermalukan lawannya. Bagi
saya, seseorang disebut ‘hero’ adalah
orang yang bisa menekan egonya bahwa dia yang paling benar, dan paling paling
lainnya. Menyelesaikan masalah tanpa masalah, sudah membuat siapa pun bisa jadi
‘hero’ bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Bagaimana menurut Anda?
Bagaimana menurut Anda?
Tulisan ini diikutsertakan pada Lovely Little Garden's First Give Away