Social Icons

13 Oct 2012

Menang dengan Perlawanan Pasif


Kejadian ini terjadi 2 minggu yang lalu.

Di hari Minggu itu ada pameran komputer di salah satu Mall di kota kami. Dan rencananya kami akan mampir ke Mall tersebut untuk mencari printer (sedang butuh printer baru ceritanya).

Setelah Solat Asar kita meluncur ke Mall itu, jalanan padat oleh kendaraan, karena itu Mas Budhi mengendarai mobil dengan pelan-pelan. Di depan kami berjejer beberapa sepeda motor, tiba-tiba salah satu sepeda motor di sebelah kiri mobil berhenti. Mas Budhi pun segera menghentikan mobil. Rem mobil tentu saja berbeda dengan rem sepeda motor kan? Jadi walau pun mobil sudah di rem tapi tetap ada gerakan maju ke depan sedikit. Dan hal tersebut yang membuat pengendara motor marah dan menggebrak bagian depan mobil (mobil berjenis jip).

Saya sempet kaget dan takut, karena saya pikir mobil mengenai kaki perempuan yang duduk di belakang pengendara, mana mereka bawa anak kecil lagi. Mas Budhi pun berusaha menepi di jalan yang ramai itu. Sebelumnya Mas meminta saya menurunkan kaca mobil supaya dia bisa bicara dengan pengendara motor itu. Wah, si pengendara marah luar biasa. Mas sempat bicara sebentar, kemudian mengatakan, “Sebentar Pak, saya parkir dulu, njenengan (anda) nunggu di situ”.  Saya sempat melirik motornya, plat motornya bengkok. Dan pengendara itu tampak seperti preman, dia memakai beberapa aksesoris yang mengarah ke situ.

Karena sudah dekat Mall yang kami tuju, kami bermaksud sekalian masuk ke area parkir. Tetapi sama bapak-bapak satpam (atau tukang parkir ya?) yang bertugas kami tidak diijinkan masuk.
 “Diselesaikan dulu Pak”, katanya terhadap Mas Budhi.
 “Iya Pak, Saya mau parkir sekalian, masak saya parkir di tengah jalan”, Mas menjawab.
“Parkir di situ saja,” si Pak satpam menunjuk pinggir jalan. Kemudian dia menutup area parkir. Jujur, saya tersinggung. 
Setelah sampai di tepi jalan Mas berkata kepada saya, “Kamu keluar dulu Nok , nunggu di sana!”
Saya tahu maksudnya. Mas ingin menyelesaikan urusan ini sendiri. Saya pun keluar mobil dan berdiri agak jauh, tetapi masih dalam jarak dengar dari Mas dan pengendara itu.
Saya mendengar pengendara itu berteriak marah dan mengumpat. Suara Mas pun terdengar keras. Saya sih tidak ragu kalau toh terjadi perkelahian, pasti Mas yang menang. Hanya saja saya tidak suka melihat orang bertengkar.

Sekitar 5 menit, sudah tidak terdengar suara keras lagi, dan sesaat kemudian Mas Budhi melambaikan tangan ke arah saya. Wah saatnya mbayar nih, pikir saya. Saya pun mendekat. Dan yang mengagetkan, si pengendara yang tadi berteriak marah dan berdandan sangar, tampak ‘jinak’. Bahkan dari sorot matanya, ada sorot rasa takut, bahkan tidak berani mengangkat kepala.
Monggo Pak, njenengan ngersake pinten?” (=silakan Pak, Anda minta berapa) saya mendengar suara Mas Budhi.
Si pengendara sambil menunduk berkata, “Saya takut knalpotnya lepas ke depan. Ini knalpot racing Pak. Masih baru lagi.” Memang motornya juga masih kempling (=baru). Dan sedikit banyak saya paham kekecewaannya.
“Nggih, Saya tahu. Itu knalpot racing. Saya minta maaf. Kami tidak bermaksud apa-apa. Dan tidak ada unsur kesengajaan”, lanjut Mas Budhi. Dan Mas pun menyebut sejumlah nominal rupiah. 
Setelah bicara sebentar, si pengendara menyebutkan ‘harga’ yang dia minta. Menurut saya, jumlahnya terlalu mahal untuk kerusakan yang tidak terlihat. Tapi Mas menyentuh lengan saya, itu tanda isyarat, “Dikasih aja”. Ya sudah, saya tidak mungkin menolak ‘perintah’ suami.
Ketika kami sudah naik ke mobil lagi, Mas bertanya, “Jadi beli printer?”
“Gak usah, Mas. Udah gak mood,” ah bagaimana mungkin setelah kejadian itu saya masih nafsu masuk Mall.
Kami terdiam sesaat. Kemudian saya mulai bertanya hal-hal yang ingin saya ketahui. “Sebenarnya yang rusak apanya sih? Kok sepertinya baik-baik saja. Cuma tadi memang plat motornya bengkok.” 
“Knalpotnya retak sedikit, “ jawab Mas.
“Memang harga knalpot itu berapa Mas?” pertanyaan berikutnya dari saya.
“Paling mahal sekitar 200 ribu rupiah,” jawab Mas lagi. “Tidak mungkin dia beli baru, paling cuma diperbaiki saja dan kerusakan seperti itu paling gak sampai 50 ribu untuk perbaikannya,” Mas menjelaskan.
“Hmmm...berarti dia memang niat mau nuthuk (=meminta lebih banyak) ya dengan jumlah yang dia minta?” Saya langsung menyimpulkan.
“Masalah itu urusan dia. Kalau memang niatnya gak baik, semua akan berbalik ke dia juga”. Mas menenangkanku.
Dan pertanyaan terakhir saya, “Tadi Mas apakan orang itu? Kok langsung keder gitu. Padahal tadi kan sangar banget.”
Mas tersenyum kemudian berkata, “Ah, model preman mental cemen, tadi waktu saya turun mobil, wajahnya ndangak (=pongah). Baru dikasi suara keras  sedikit udah langsung mengkeret (=takut).”
“Saya gak mau ribut. Apalagi malu dilihat banyak orang. Jadi, setelah nada suaranya agak turun, saya ajak rembugan baik-baik,” Mas menjelaskan. 
“Dan itu membuat dia tambah menciut, karena saya bicara dengan nada sopan,” jelas Mas lebih lanjut.
Oh iya ya tadi Mas bicara dengan bahasa jawa halus (=krama).
“Maaf ya,”  sambung Mas, sambil mengelus kepalaku.
“Iya gak apa-apa,” Saya melihat ke arah Mas sambil tersenyum. 
Kata-kata itu memang jujur dari hati. Saya tidak mempermasalahkan uang yang kami berikan ke si pengendara motor. Memang uang tersebut berjumlah cukup banyak tetapi yang terpenting masalah terselesaikan dengan baik-baik.

Satu kebanggaan terselip di hati saya, bukan hanya suami saya bisa menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah lain, tetapi dia bisa mengalah untuk menang.
Tulisan ini tidak untuk menceritakan ‘ke-hero-an’ suami saya loh.
Yang ingin saya tekankan di sini adalah untuk menjadi seorang ‘hero’, tidak harus dengan cara kontak fisik (baca: berkelahi) atau bertengkar model debat kusir. Kita pun bisa menjadi pemenang dengan cara mengalah. Bahasa kerennya, menang dengan perlawanan pasif.
Seorang ‘hero’ tidak harus yang menjadi pemenang dalam perkelahian, juga bukan orang yang bisa mempermalukan lawannya. Bagi saya, seseorang disebut ‘hero’  adalah orang yang bisa menekan egonya bahwa dia yang paling benar, dan paling paling lainnya. Menyelesaikan masalah tanpa masalah, sudah membuat siapa pun bisa jadi ‘hero’ bagi dirinya sendiri dan orang lain. 

Bagaimana menurut Anda?

 Tulisan ini diikutsertakan pada Lovely Little Garden's First Give Away