Social Icons

1 Dec 2012

Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran


Apa sih yang membedakan kaum muda dulu dan sekarang? Sebenarnya kaum muda dulu dan sekarang itu tidaklah berbeda, mereka sama-sama merasakan kegelisahan. Hanya saja kegelisahan pemuda dulu disalurkan dengan membentuk Jong Java, Jong Sumatera, dan Jong-Jong lainnya. Ya, kegelisahan mereka adalah bagaimana membawa bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri. Dan membentuk wadah yang tepat dengan kegiatan yang positif. Sehingga terlahirlah Sumpah Pemuda yang kita kenal hingga saat ini.

Bagaimana dengan kegelisahan pemuda saat ini? Kegelisahan pemuda saat ini justru lebih kompleks, yang dikarenakan adanya ketidakpastian dalam bidang hukum, ekonomi, dan sosial budaya yang dihadapi bangsa ini. Hanya saja mereka tidak menyalurkan kegelisahannya dengan cara yang positif. Pemuda adalah makhluk yang dinamis, tetapi dinamis yang kebablasan bisa mengarah ke anarkis. Kegelisahan dan kekecewaan mereka diimplementasikan dengan tindakan yang tidak sepatutnya. Contohnya tawuran.

Tawuran, berasal dari kata tawur yang berarti perkelahian beramai-ramai; perkelahian massal (dari kamus bahasa Indonesia online). Kata itu sudah terdengar sejak dulu, dan bertambah sering kita dengar akhir-akhir ini. Sekarang tawuran tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi sudah merambah ke kota kecil bahkan tingkat desa. Pelakunya pun beragam, mulai dari pemakai seragam putih abu-abu, hingga kaum intelek di kampus (baca: mahasiswa).

Bagaimana cara mencegah dan menanggulangi tawuran?

“Jika Anda bertanya bagaimana cara agar tawuran tidak terjadi lagi. Itu sama saja dengan Anda menanyakan, Apakah korupsi di negeri ini bisa dihentikan.”

Itu adalah sebagian dari obrolan yang pernah saya dengar di radio. Saya tertawa perih mendengarnya. Sudah begitu sakitkah bangsa ini?

Tawuran bukan lagi masalah bagi sekolah atau universitas tetapi sudah menjadi masalah bangsa. Masalah kita bersama. Karena itu sudah sepantasnya kita sebagai warga negara memberikan sumbangsih walau pun hanya sebentuk pendapat saja.


Dan ini adalah pendapat saya, mengenai cara mencegah dan menanggulangi tawuran :

1.Mencari Penyebabnya

Saya sempat membaca di papan pengumuman di salah satu fakultas di Universitas terkenal di Semarang, kira-kira bunyinya seperti ini : “Bertemu besok di tempat biasa jam 7 malam. NB: BAWA SENJATA SECUKUPNYA!”

Konon ceritanya, dua fakultas yang mayoritas penghuninya cowok tersebut sudah jadi musuh bebuyutan sejak lama. Dan yang saya dengar tentang tawuran pelajar di Jakarta, antar dua sekolah yang pelajarnya tawuran tersebut pun mempunyai kisah yang sama.

Sudah jadi musuh sejak dulu.

Sebenarnya siapa yang sudah menanamkan bahwa “mereka saling bermusuhan”? Tidak mungkin pihak sekolah/universitas yang mendoktrin mereka bukan? Kemungkinan terbesar ‘oknumnya’ adalah kakak kelas atau kakak tingkat mereka sendiri. Sehingga doktrin itu menjadi sebuah pembenaran publik.

Ya, mereka musuh kita. Kalau ketemu di jalan langsung sikat saja.

Mungkin begitu yang ada dalam pikiran mereka. Dan ‘dendam’ itu diwariskan turun-temurun secara berkesinambungan.

Solusinya adalah mata rantai itu harus diputus.

Lalu, siapa yang memiliki tanggung jawab sebagai si ‘pemutus’?

Kalau menurut saya, yang paling mempunyai wewenang adalah pihak sekolah atau universitas tersebut.

Membahas bersama di satu meja, langkah-langkah apa yang bisa ditempuh untuk mendamaikan kedua belah pihak. Ikut sertakan organisasi kepemudaan di masing-masing sekolah atau fakultas, tidak lupa ‘gembong-gembongnya’ pun harus diajak serta. Saya yakin pihak sekolah atau fakultas tahu benar siapa-siapa saja yang menjadi ‘pentolan’ dalam hal tawuran ini. Dengan begitu diharapkan, rantai ‘dendam’ hanya cukup sampai disitu. Dan tidak ada lagi, kakak kelas atau kakak tingkat yang memberikan pemahaman yang salah terhadap generasi di bawahnya.

Kita tidak mau bukan jika geng-geng sekolah ini berkembang menjadi seperti yakuza di Jepang atau mafia di Hongkong?
 

2.Mendidik bukan Mengajar

September lalu, ketika saya mendapat tugas monitoring tentang kurikulum ke sekolah-sekolah, saya melihat fenomena yang menarik. Siswa yang duduk di Sekolah Dasar (SD) cenderung memiliki sopan santun yang cukup baik. Pelajaran tentang budi pekerti yang ditanamkan para guru diserap dan diaplikasikan dalam kehidupan di sekolah. Hal ini sangat berbeda ketika saya berkunjung ke sekolah menengah. Pelan tapi pasti, sopan santun mulai memudar. Siswa-siswi mulai terlihat seenaknya, baik dalam bertutur kata mau pun berperilaku. Bahkan pernah terjadi kasus di kantor saya dengan siswa menengah yang magang karena sopan santun mereka yang minus. Entah kemana sopan-santun yang mereka anut ketika di sekolah dasar.

Sekolah/universitas adalah tempat untuk mendidik dan bukan hanya tempat untuk mengajar.

Sekolah/universitas bukan hanya tempat untuk mengajarkan ilmu tetapi juga bertugas mendidik karakter para siswa/mahasiswa agar ilmu yang mereka dapat, bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagaimana dengan siswa yang sudah ‘terlanjur’ bermasalah?

Jika usia mereka di bawah 18 tahun, tentu saja mereka masih dalam peradilan anak. Yang biasanya pembinaan dikembalikan ke sekolah dan orang tua. Peradilan umum tidak bisa menyentuh mereka, disinilah diperlukan ketegasan dari sekolah membuat peraturan dalam bentuk sanksi yang mendidik. Misalnya: kerja sosial di panti jompo selama kurun waktu tertentu.

Pihak pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, perlu kiranya mulai membuat peraturan yang tegas mengenai hal ini, agar pihak sekolah pun memiliki pijakan hukum yang pasti mengenai pemberian sanksi terhadap siswa yang bermasalah.

3.Peranan Orang Tua dan Lingkungan

Rumah adalah sekolah pertama bagi anak-anak.

Sangat disayangkan alih-alih mendidik anak-anak mereka, orang tua malah berpikiran menyerahkan sepenuhnya tugas mendidik anak-anak mereka ke sekolah formal. Sedangkan mereka sibuk mencari uang dengan dalih untuk masa depan anak. Dan ketika anak-anak mereka bermasalah, semua kesalahan ditimpakan kepada pihak sekolah dan pemerintah

Begitu pula dengan lingkungan, saat ini organisasi kepemudaan seperti karang taruna sudah tinggal nama. Tidak ada organisasi yang mewadahi para pemuda untuk menyalurkan tenaga mereka yang seakan tak ada habisnya untuk kegiatan yang positif.

Kepedulian dan pengawasan dari orang tua serta lingkugan bersinergi dengan pendidikan berkarakter kebangsaan yang diberikan di sekolah, akan membentuk dan menghasilkan generasi penerus bangsa yang terbaik untuk negeri ini.

 -----000-----

Kita jangan sampai berkecil hati untuk menghadapi masalah tawuran ini. Harap diingat, disamping pelajar dan mahasiswa yang tawuran, ada pemuda-pemuda lain yang berprestasi tidak hanya di skala nasional tetapi juga di skala internasional. Mereka mengharumkan nama bangsa ini.

Jika masih ada Anda-anda yang perduli terhadap nasib bangsa ini, Saya yakin keterpurukan bangsa ini dapat kita atasi bersama.

Mari kita tingkatkan jumlah Anda-anda yang perduli!

Wahai kaum muda jadilah pemuda dinamis yang berwawasan humanis! MERDEKA!

Artikel  ini diikutsertakan pada 
Kontes Unggulan Indonesia Bersatu:Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran

26 comments:

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat.
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  2. Universitas apa ituh di Semarang yg ky gitu mba? serem banget, PM me ya :p

    ReplyDelete
  3. Wow! Artikelnya keren, mbak. Fokus. Aih.. dari tidak pede jadi minder

    ReplyDelete
  4. Iya aku juga penasaran neh, jangan2 almamaterku hehehe...semoga bukan. Sayangnya, mengajar sekaligus mendidik sangatlah berat Mbak Esti, dibutuhkan kemampuan menguasai materi dan keikhlasan/kesabarran menghadapi anak2. Memang keluarga sangat berperan membentuk karakter anak agar tidak gampang diombang-ambingkan dunia luar. Yuk kita optimis dan semoga 'budaya' tawuran ini segera terkikis dan lama-lama hilang dari bumi nusantara....jiahhhh :)

    Semoga berjaya di kontes Pakdhe.

    ReplyDelete
  5. Keren Mba. Terstruktur dan fokus soluui yang dikemukakan. *banyak belajar*

    Kegelisahan yang dirasakan kaum muda emang berlipat-lipat Mba ya. Sayang kalo pelampiasannya salah.
    Semoga sukses untuk kontesnya Mba.. :)

    ReplyDelete
  6. Iya Mbak Esti yg memutus mata rantai kekerasan itu harus lembaga yg berwenang..Mereka punya semua resources soalnya...

    ReplyDelete
  7. semoga banayaknya peserta yg ikut kontes mampu memberikan sumbangan saran utk bs menghapus tawuran ya

    ReplyDelete
  8. harus kesadaran diri sendiri juga ya mbak supaya tawuran ini bisa dihentikan

    ReplyDelete
  9. Saya besar dan sekolah d kota kecil yang jauh dari ibu kota. Jangankan d jakarta, d kota saya saja ada juga yang namanya "dendam yang diturunkan" itu. Miris!

    Semoga cukup sampai d sini semua ini, jangan lagi d wariskan ke generasi selanjutnya. Mau jadi apa bangsa kita nantinya kalau begini terus....

    ReplyDelete
  10. tulisan yang mencerahkan. :)
    nice posting,

    http://damai.malhikdua.com

    ReplyDelete
  11. orang tua itu pentng buat tumbuh kembang anak yaa mbak esti :D

    Akhirnya ikutan juga :D

    ReplyDelete
  12. dinamis yg humanis? keren sekali itu mba *jempol*
    gudlak ngontesnya yaa^^

    ReplyDelete
  13. lembaga pendidikan memang sangat berperan. sayang sekali muatan membentuk karakter kalau diabaikan

    ReplyDelete
  14. mencoba komen pake blogspotku :D

    ReplyDelete
  15. Mendidik, bukan mengajar. Ya, sungguh ini penting sekali. Semoga sukses ngontesnya ya, Mbak Esti.

    --ini coba komen, semoga berhasil ya, Mbak. Habis ini, coba Mbak Esti komen di blog saya, kira2 bisa ga ya?

    ReplyDelete
  16. Tawuran terusssss...109 artikel mencegah tawuran sudah digelar..eh tawuran jalan terus deh
    Salam hangat dari Yogyakarta

    ReplyDelete
  17. Di LPMP pasti nggak pernah ada tawuran, karena yg datang kesitu nggak punya bakat tawuran...

    ReplyDelete
  18. semoga menang salam hangat dari mas opick

    ReplyDelete
  19. Juga Perlunya pendalaman agama yang intens...

    Sukses buat kontesnya, Mbak..

    ReplyDelete
  20. Rata-rata tawuran tuh hanya krn maslah sepele aja yaa...

    ReplyDelete
  21. nah itulah, dulu ketika SD, anak-anak diajari budi pekerti sopan santun dan semua hal yang hubungan dengan toleransi namun menginjak sekolah menengah tingkat pertama dan dilanjutkan dengan tingakat atas maka yang terjadi adalah? amburadul, ntah yang salah dimana saya sendiri juga tidak habis pikir terhadap maslaah yang satu ini heeemmmm

    ReplyDelete
  22. Kata orang, tawuran itu tidak baik dan memang tidak baik. Beberapa waktu dulu saya pernah membuktikan bahwa tawuran sangat sangat sangat tidak baik, kecuali tawuran makan kerupuk. Posting ajib. Sukses teman!

    ReplyDelete

Terima kasih sudah meninggalkan komentar ^_^