Social Icons

3 Nov 2015

Robohnya Surau Kami



”ROBOHNYA SURAU KAMI”

I.PENDAHULUAN
            Sastra memainkan peranan penting di dalam mengungkapkan persoalan dan pergelutan kehidupan sosial sebuah masyarakat. Karya-karya sastra dapat dijadikan sebagai suatu wadah untuk mendidik dan memberdayakan pemikiran masyarakat supaya menjadi lebih kritis dan peka akan lingkungan sosialnya. Sastra juga dapat memainkan peranan untuk membuka pikiran dan menyemai kesadaran yang lebih luas dan mendalam terhadap perkara-perkara dalam kehidupan. Oleh karena itu, sastra seringkali mengungkap dan mencatat pemikiran, nilai dan aksi manusia di dalam masyarakat. Dari sastra juga kita dapat membongkar segala aspek kemanusiaan yang tersirat di dalam kehidupan sehari-hari.
            Cerita pendek Robohnya Surau Kamiadalah salah satu contoh karya sastra yang pesan moralnya masih relevan diperbincangkan hingga saat ini. Cerita pendek ini ditulis oleh sastrawan Indonesia, yang bernama Ali Akbar Navis (atau singkatnya A.A.Navis) yang diberi julukan ”sang pencemooh” karena gaya menulisnya yang sinis dan satiris.
            Cerita pendek ini pertama kali diterbitkan dalam majalah sastra, Kisah, pada tahun 1955. Pada tahun yang sama, terpilih sebagai salah satu cerita pendek terbaik dan mendapat hadiah dari majalah tersebut. Semenjak itu, cerita pendek ini telah dibahas di seluruh Indonesia dan membangkitkan suatu wacana keagamaan di Indonesia.
            Cerita pendek ini mengisahkan tentang seorang kakek, seorang garin (penjaga surau) yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Baginya bukan suatu masalah jika ia tidak berkeluarga, hidup sendiri tanpa istri yang berada di sisinya saat suka dan duka atau keturunan untuk disayangi dan dikasihi. Menyembah dan mewartakan nama Tuhan adalah segalanya dalam hidupnya.
Ini sudah menjadi keputusan si kakek, bukan karena dorongan orang lain atau keadaan yang memaksanya demikian. Baginya memukul beduk mengingatkan orang lain untuk sembahyang, membaca ayat-ayat suci di Kitab dan memuji nama Tuhan jauh lebih penting daripada kekayaan dan rumah yang megah. Intinya, hidupnya hanya berkisar pada Tuhan, termasuk menjaga surau yang ada di desanya tersebut.
Sebagai tokoh antagonis adalah Ajo Sidi. Keberadaannya di desa itu populer karena dia pintar membuat banyak kisah dengan karakter orang di desa itu menjadi inti ceritanya. Orang mungkin menyebutnya si pembual namun, karena sejak dahulu manusia selalu tertarik dengan kisah-kisah menarik, orang-orang desa tetap mendengarkan bualan Ajo Sidi tersebut. Kali ini yang menjadi tokoh cerita Ajo Sidi adalah karakter yang digambarkan si kakek penjaga surau.
Dia mengisahkan seorang yang, seperti halnya si kakek, menyerahkan hidupnya untuk Tuhan. Tokoh ini, yang diberi nama Haji Saleh, sangat meyakini bahwa tiada tempat baginya di akhirat selain di surga. Dengan penuh percaya diri dia menunggu gilirannya untuk ikut rombongan yang masuk ke surga sambil mencibir pada mereka yang masuk ke neraka. Inti terpenting dari cerita pendek ini dibuat dalam bentuk dialog menarik antara manusia percaya diri dengan Tuhan sendiri. Dalam setiap percakapan kita bisa melihat dan merasakan sedikit demi sedikit Haji Saleh mulai kehilangan kepercayaan dirinya padahal apa yang ditanya oleh Tuhan hanyalah apa yang dikerjakannya selama dia hidup.
Haji Saleh dimasukkan ke neraka, bahkan di saat-saat akhir interogasi Tuhan pun dia sudah merasakan hawa panas di tubuhnya. Dia tidak bisa mengerti mengapa dia yang selama hidupnya hidup untuk Tuhan bisa berada di tempat yang seharusnya, menurutnya, untuk orang-orang yang tidak beribadah dan mengenal Tuhan. Dan dia bukan satu-satunya. Merasa bingung dan tidak puas dengan pengaturan tersebut, Haji Saleh dan sekelompok orang yang berpikiran sama pun kembali menghadap Tuhan. Sekali lagi terjalin percakapan menarik dan kali ini Tuhan menjelaskan mengapa bukan surga yang layak untuk mereka tempati.
Sang kakek marah setelah mendengar cerita dari Ajo Sidi, karena ia merasakan bahwa kisah Haji Saleh sebenarnya menyinggung dirinya sendiri dan yang sangat mengejutkan adalah ia bunuh diri dengan menggorok lehernya menggunakan pisau cukur yang diasahnya.

II.PEMBAHASAN
Cuplikan dialog antara Tuhan dan Haji Saleh berikut ini merupakan pesan moral yang ingin disampaikan melalui cerita pendek ini:
"....kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal walau engkau miskin. Engkau kira Aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahKu saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"

Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia.
                                                (Navis, 1986:11-12)



Pernahkah terlintas dalam benak anda, jika anda percaya akan keberadaannya, seperti apakah neraka itu? Orang seperti apa yang masuk ke sana? Kenapa orang masuk ke sana? Ibadah dan agama adalah salah satu bagian utama dari kehidupan bangsa kita Indonesia, jadi sejak kecil istilah surga dan neraka bukanlah hal yang asing bagi telinga kita.
Cerita pendek ini sedikit banyak memberikan pandangan akan pertanyaan-pertanyaan tadi, bahkan lebih jauh lagi, menegur kita manusia yang sepertinya lupa hal terpenting dalam beragama tersebut. AA Navis sepertinya melihat kecenderungan yang mengarah pada keadaan ini dan menuangkannya dalam sebuah kisah yang tidak lekang oleh waktu.
Dalam cerita pendek ini, AA Navis secara kritis menyoroti arti beragama dalam masyarakat, yang hanya sebatas solat, mengaji, puasa, dan naik haji. Kita diajak untuk menilai kembali cara kita memahami tuntunan agama. Dalam pola pikiran tradisional, ibadah-ibadah hanya diartikan seputar empat hal yang telah disebut di atas dan mengabaikan bidang-bidang kehidupan yang lain. Melalui cerita pendek ini pemaknaan ibadah diperluas, sehingga usaha memakmurkan bumi dan lingkungan sosial juga merupakan suatu ibadah. Bekerja juga adalah ibadah.
            Sebagai kelanjutan dari persoalan ibadah, di sini kita juga dihadapkan pada persoalan tentang bagaimana melihat ’kealiman’ seseorang. Sangat ironis sekali ketika kita mengetahui bahwa orang yang dianggap alim (dalam pemikiran masyarakat tradidional) justru dimasukkan ke dalam neraka. Menurut cerita pendek ini, ’dosa’ Haji Saleh yang paling besar adalah mengabaikan tanggungjawab sosialnya. Dengan kata lain, jika kesalehan dan ibadah-ibadah itu hanya untuk mendapat pahala dan keselamatan diri sendiri di akhirat, tanpa memikirkan hak-hak orang lain, maka hal tersebut tidaklah bermakna. Karena hal tersebut merupakan bentuk keegoisan manusia yang mementingkan dirinya sendiri, maunya saleh sendiri, masuk surga sendiri tanpa mau melihat sekitarnya, bahwa masih begitu banyak kebodohan, kemiskinan, dan kejahiliahan.
            Kita juga dapat mengartikan bahwa kakek dan suraunya menyimbolkan sesuatu dalam masyarakat. Jika surau itu menyimbolkan institusi agama, maka kakek dapat dikatakan sebagai pemuka agama itu sendiri, yang bertanggungjawab memperbaharui kerelevanan institusi agama dalam masyarakat. Agar tetap mampu dijadikan tolok ukur dalam memecahkan persoalan-persoalan yang tejadi dalam masyarakat. Sehingga institusi agama bisa tetap hidup dalam masyarakat yang terus berubah, jika tidak maka institusi agama itu perlahan-lahan akan pupus, seperti judul cerita pendek ini, robohnya surau kami.
            Hal yang tidak kalah pentingnya, yang ingin disampaikan melalui cerita pendek ini adalah rasa nasionalisme terhadap negara kita, Indonesia. Dikatakan dalam cerita pendek itu, bahwa negeri Indonesia sangat subur tanahnya, tapi kita dijajah begitu lama, dan tak ada satu pun yang kita lakukan untuk merebutnya. Kita malah bermalas-malasan dan berkelahi antar sesama. Dan kekayaan alam yang seharusnya dapat dinikmati rakyat Indonesia malah dinikmati oleh negara lain.

III.PENUTUP
Keegoisan manusia digambarkan AA Navis sebagai hal yang membuat beberapa orang bernasib bertolak belakang dengan harapan mereka. Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja keras di dunia yang dipersiapkannya. Hidup bersama dengan orang lain dan saling membantu layaknya sesama manusia. Sayang ada orang yang menjadikan Tuhan sebagai intisari kehidupan mereka dan tiada hal lain yang penting. Bahkan mungkin saja ada orang yang rajin ibadah bukan karena kepercayaannya namun karena rasa takut masuk ke neraka, jadi dia beribadah lebih dari orang lain supaya bisa masuk ke surga. Mereka lupa inti terpenting dalam kehidupan tersebut yakni beramal di samping beribadat, dan bagaimana bisa beramal ketika mereka tidak mencari nafkah dan malah menelantarkan keluarganya demi kepentingan diri mereka sendiri di akhirat nantinya.
Cerita pendek ini membuat kita mempertanyakan kembali diri kita sendiri sekaligus berpikir mengapa Tuhan bersikap seperti itu, apa yang sebenarnya salah dalam pemikiran orang-orang seperti si kakek dan Haji Saleh. Ternyata Tuhan memiliki caranya sendiri dan walau kita menggunakan semua rasio yang kita anggap benar,  AA Navis mengingatkan kita bahwa tidak demikian adanya.
 

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Joko. Sosiologi Sastra. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2003.
Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Navis, Ali Akbar. Robohnya Surau Kami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1986.
T Gramedia Pustaka Utama, 1986.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah meninggalkan komentar ^_^